Senin, 04 Mei 2020

Virus corona: Nasib TKI di Inggris saat 'lockdown' - 'Tak bisa kerja, utang untuk makan membengkak'


Sebagian warga negara Indonesia yang bekerja di sektor informal di Inggris kehilangan pekerjaan seketika, tatkala pemerintah memberlakukan lockdown atau karantina wilayah untuk mengendalikan penyebaran virus corona mulai tanggal 23 Maret lalu.
Mereka yang langsung terdampak terutama adalah pekerja harian di sektor rumah tangga dan restoran. Pemilik restoran memilih menutup tempat usaha setelah ditetapkan hanya boleh melayani pesan antar dan pesan dibawa pulang.

Adapun jasa pekerja rumah tangga juga tidak banyak diperlukan lagi, sebab majikan rata-rata bekerja di rumah, anak-anak mereka tidak pergi ke sekolah. Bahkan ada pula majikan yang kehilangan pekerjaan.
Otomatis tak ada lagi mata pencaharian yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka di Inggris dan juga keluarga besar mereka di Indonesia.
"Saya sudah tidak bekerja karena sudah lockdown. Tidak ada kerja lagi, dan kita pun kalau mau keluar ya mikir karena bisa berbahaya," tutur Angga, seorang warga negara Indonesia (WNI) yang tiba di London, ibu kota Inggris, tahun lalu.
Selama ini, pria yang ingin namanya disamarkan menjadi Angga tersebut, bekerja sebagai pelayan restoran di salah satu kawasan paling sibuk di pusat kota London.
Kata "berbahaya" yang ia gunakan merujuk pada risiko tertular virus corona dan juga risiko dihentikan oleh polisi yang diterjunkan untuk menegakkan aturan penerapan pembatasan pergerakan orang.
Apalagi, Angga tak mengatongi izin kerja, melainkan menggunakan visa turis untuk masuk ke Inggris dan masa berlakunya sudah berakhir pula.
Kini hari-harinya ia habiskan di tempat tinggal. Angga sedang tidur siang ketika BBC News Indonesia menghubunginya melalui sambungan telepon
Betapapun, Angga merasa beruntung karena tempat tinggal disediakan oleh majikan sehingga tidak perlu khawatir diusir karena gagal membayar kontrakan, sebagaimana dialami oleh sejumlah temannya.
"Dan untungnya kadang-kadang dikasih makan oleh bos, sedikit-sedikit. Tapi kalau sudah kepepet, ya terpaksa pinjam uang untuk makan," kata pria asal Jawa Timur itu
'Mungkin bertahan satu bulan'
Alih-alih mengirimkan uang untuk kedua anak dan istrinya di Indonesia, Angga mencari pinjaman untuk bertahan hidup yang selama sekitar enam minggu terakhir mencapai £500 atau sekitar Rp9,4 juta dan ia yakin "utang untuk makan akan membengkak".
"Mudah-mudahan virus corona cepat hilang. Mau pulang pun, di Indonesia juga susah, mau pulang saja susah. Jadi saya mau bertahan di sini," katanya seraya menambahkan ia paham betul bahwa ia baru bisa mulai bekerja jika pemerintah Inggris memutuskan usaha restoran boleh dibuka lagi.
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, dijadwalkan akan mengeluarkan petunjuk terkait rencana untuk kembali menggelindingkan perekonomian setelah melakukan peninjauan terhadap karantina wilayah periode kedua ini pada Kamis (07/05). Belum jelas sektor usaha-usaha apa saja yang dibolehkan buka lagi di tahap awal.
Angga tidak sendiri. Sri, seorang WNI lainnya, juga tidak bekerja selama lebih dari satu setengah bulan terakhir. Majikannya berada di rumah sehingga tidak memerlukan jasa Sri untuk mengurus rumah tangganya.
"Masalah makan dan bayar kontrak, untungnya saya punya sedikit simpanan. Kalau tidak bisa bekerja lagi, mungkin satu bulan sudah tidak punya biaya buat makan.
"Soalnya, dulu kerja dan uangnya dikirimkan buat keluarga di Indonesia. Ya mungkin sebulan bisa bertahan, tapi kalau lebih dari sebulan, tidak tahu lagi nanti bagaimana," ungkapnya.
Berbeda dengan Angga, Sri sudah mengantongi izin tinggal di Inggris sehingga lebih leluasa mencari pekerjaan lain seandainya majikan tidak memerlukannya lagi sesudah pandemi berakhir.

KBRI sediakan hotline, pekerja gelap takut lapor

Walaupun Inggris tidak menjadi tujuan pengiriman tenaga kerja Indonesia secara resmi, nyatanya banyak WNI yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga atau di restoran dan toko-toko kecil.
Mereka biasanya masuk ke Inggris dibawa oleh majikan dari negara-negara Timur Tengah dan Asia. Belakangan terdapat sejumlah WNI yang masuk ke negara ini dengan menggunakan visa turis, tetapi bertujuan bekerja.
Data KBRI London menunjukkan jumlah keseluruhan WNI yang terdaftar di Inggris mencapai 9.362 orang.
Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI London, Gulfan Afero, mengatakan dari jumlah itu terdapat sekitar 250 orang yang tercatat bekerja di sektor rumah tangga.
KBRI memperkirakan mereka yang tidak terdaftar berjumlah sekitar 150 orang, meskipun perkiraan-perkiraan lain menempatkan angkanya lebih tinggi.
"Benar, kami telah menerima laporan bahwa beberapa pekerja sektor rumah tangga yang tidak terdaftar telah kehilangan pekerjaan dan kesulitan saat ini.
"Namun sementara ini yang berhasil kami data dan mengalami kesulitan berkisar 20-30 orang saja, " kata Gulfan Afero menjawab pertanyaan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.
Ditambahkannya KBRI London telah menurunkan tim untuk memberikan bantuan logistik kepada mereka dan KBRI juga membuka nomor telepon hotline +447881221235 dan +447471495095.
Nomer tersebut, lanjut Gulfan, dapat dihubungi jika ada WNI yang mengalami kesulitan di Inggris selama pandemi Covid-19.
Akan tetapi beberapa WNI yang bekerja secara ilegal di Inggris mengaku takut meminta bantuan ke KBRI London.
"Saya takut dipaksa pulang ke Indonesia padahal saya ingin cari duit dulu. Jadi sekarang cari pinjaman ke teman-teman untuk makan," ungkap seorang perempuan yang tidak bersedia namanya disebutkan.
Menanggapi kekhawatiran seperti itu, Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI London Gulfan Afero mengatakan prioritas utama di masa pandemi adalah "memberikan bantuan logistik kepada kelompok yang rentan ini."
"Langkah berikutnya, KBRI mengimbau agar mereka segera kembali ke tanah air mengingat keberadaan mereka di UK (United Kingdom) menyalahi ketentuan hukum keimigrasian yang berlaku di UK," tambahnya.
Kendati demikian, menurut Gulfan, KBRI tidak dalam posisi memberitahukan keberadaan WNI yang bekerja secara gelap di Inggris ataupun menyerahkan identitas mereka kepada otoritas setempat.
"Tidak. Kita tidak menyerahkan mereka kepada pihak yang berwenang tetapi adalah kewajiban kita untuk menyatakan kepada mereka bahwa apa yang dilakukan mereka ini tidak benar. Oleh karena itu, mereka harus mematuhi ketentuan hukum yang berlaku di Inggris," tegas Gulfan Afero.

Satu juta pendatang gelap di Inggris

Sejumlah badan amal memperkirakan terdapat sekitar satu juta orang dari berbagai negara yang tinggal di Inggris tanpa dokumen resmi dan berada dalam situasi seperti yang dialami Angga.
Mereka tidak mempunyai akses kesehatan serta akses bantuan pemerintah dan berisiko mengalami kelaparan.
"Konsekuensinya tragis," kata Susan Cueva dari perkumpulan masyarakat Filipina di Inggris, Kanlungan Filipino.
Ditambahkan persoalan yang dihadapi tenaga kerja gelap semakin pelik jika mereka sampai jatuh sakit di masa pandemi.
"Beberapa di antara mereka tidak mau mencari pertolongan walaupun kondisi kesehatannya memburuk," kata Cueva.
Bagi Angga, kekhawatiran akan jatuh sakit ia buang jauh-jauh.
"Kita berdoa agar tidak sampai sakit. Kita harus hati-hati, menjaga kesehatan. Keyakinan harus ada, mentaati rambu-rambu dan berdoa. Saya buang pikiran takut," pungkasnya.
Inggris tercatat sebagai negara Eropa terbesar kedua dari segi jumlah kematian akibat Covid-19, setelah Italia.
Hingga Minggu malam (03/05), 28.446 orang meninggal dunia karena penyakit yang disebabkan oleh virus corona itu, walaupun jumlah yang sebenarnya ditaksir lebih tinggi. Jumlah kasus terkonfirmasi positif virus corona juga terus meningkat, lebih dari 182.000 sejauh ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar